Senin, 09 Mei 2011

BADAN KEHORMATAN PUNYA DAYA TAWAR POLITIK

Oleh Slamet Hariyanto
Sesuai amanat UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut UU Susduk) DPR memiliki alat kelengkapan yang baru yakni Badan Kehormatan (BK). UU Susduk ini mengatur keberadaan BK DPR dalam pasal 98 ayat 2 huruf (g). Sedangkan pasal 85 ayat 2 huruf (c) menegaskan bahwa anggota DPR dapat diberhentikan apabila melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR bedasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPR.
Ketika lahirnya BK DPR, banyak pihak meragukan keberanian politik dan obyektifitas kinerja alat kelengkapan DPR ini. Sebab anggota BK terdiri atas anggota DPR sendiri tanpa melibatkan anggota independen. Memang ada pemikiran agar anggota BK supaya diisi juga dengan unsur independen di luar anggota DPR. Tapi usulan ini ditolak ketika DPR mengesahkan UU Susduk. Otomatis keberadaan BK di seluruh lembaga legislatif hanya diisi oleh anggota legislatif sendiri.
Peristiwa politik di gedung Senayan bulan Juli 2006 memberikan jawaban terhadap keraguan publik terhadap obyektifitas dan keberanian politik BK DPR. Alat kelengkapan DPR yang dipimpin Slamet Effendy Yusuf (Fraksi Partai Golkar) ini menunjukkan kinerjanya yang ternyata benar-benar memiliki taring politik. Kinerja BK menunjukkan keseriusannya dengan membuat keputusan terhadap 19 kasus di internal DPR. Rinciannya, 13 kasus absensi, 6 kasus lainnya masing-masing 1 kasus antara lain soal talak palsu, percaloan proyek alat kesehatan, menyewakan rumah dinas, amplop (suap), pemerasan kepala daerah, percaloan pemondokan haji dan katering.
Penjatuhan sanksi terhadap pelaku 19 kasus tersebut, 18 pelaku diberi sanksi teguran, termasuk pemindahan keanggotaannya di komisi, dan 1 kasus diberhentikan dari anggota DPR. Pimpinan DPR dan Fraksi-fraksi yang anggotanya menjadi korban BK, sangat merespon positif sanksi dari lembaga yang diamanati mengawal dan menjaga martabat parlemen ini. Sebab, palu sanksi yang dijatuhkan BK memiliki payung hukum yang kuat. Yakni pasal 62 ayat 1 Tata Tertib DPR yang memberikan kewenangan berbunyi “Setelah melakukan penelitian dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, bukti-bukti, serta saksi-saksi, BK dapat memutuskan sanksi berupa: (a) teguran tertulis, (b) pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR, (c) pemberhentian sebagai anggota DPR”.
Secara umum, fraksi-fraksi yang anggotanya terkena sanksi dari BK pasti mendapat malu di mata publik. Sebab, publik menilai penjatuhan sanksi oleh BK benar-benar steril dari masalah politik. BK dinilai sudah berjalan diatas rel konstitusi untuk menegakkan kode etik DPR. Namun, rata-rata pimpinan fraksi menyikapi dengan langkah positif, antara lain ikut menegur dan memberi peringatan kepada anggota yang terkena sanksi BK. Langkah para pimpinan fraksi ini berujung pada nilai positif juga di mata publik karena mereka tidak membela anggotanya yang memang bersalah.
Lain halnya dengan Fraksi Partai Demokrat (FPD), karena tidak berhati-hati dalam menyikapi kasus ini, maka langkah politiknya kepleset juga. Di mata publik terkesan FPD emosional dalam menanggapi kasus ini. Kebetulan anggotanya Azzidin adalah satu-satunya yang terkena sanksi dari BK yakni diberhentikan keanggotaannya di DPR. Dia terlibat kasus percaloan pemondokan haji dan katering. Publik yang mengikuti perkembangan kasus Azzidin ini pasti mencibir sinis terhadapnya. Pengungkapan kasus Azzidin sekaligus menempatkan figur Menteri Agama Maftuh Basyuni sebagai pahlawan yang membongkar praktek tercela yang dilakukan oleh anggota DPR.
Bahwa FPD dinilai kepleset dan tidak hati-hati dalam menyikapi kasus Azzidin, dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, ketika BK mengumumkan keputusan pemberian sanksi kepada anggota DPR yang terlibat 19 kasus, maka serta merta ketua FPD melancarkan protes kepada pimpinan DPR dan pimpinan BK. Fraksi ini terkesan mengikuti alur emosional Azzidin. Memang, Azzidin sempat bilang kepada pers bahwa dia menjadi anggota DPR karena dipilih langsung oleh rakyat. Enak saja BK memberhentikan seorang anggota DPR. Azzidin juga menilai keputusan BK tidak berdasarkan hukum, menurutnya tidak ada dasar apa pun bagi BK untuk memberhentikan anggota DPR.
Reaksi emosional ini menunjukkan ketidakmampuan Azzidin dalam membaca peraturan perundang-undangan yang mengatur perilaku kedinasan seorang anggota DPR. Paling tidak publik dapat menilai bahwa Azzidin memang tidak paham UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, UU Susduk khususnya pasal 98 ayat 2 huruf (g), dan pasal 85 ayat 2 huruf (c). Dia juga tidak paham Tata Tertib DPR khususnya pasal 59, pasal 62 ayat 1, 3, 4, dan 5.
Kedua, mungkin setelah disadari bahwa kesalahan Azzidin sangat tidak menguntungkan bagi FPD untuk melakukan pembelaan, maka cepat-cepat fraksi ini memutuskan menarik keanggotaan Azzidin sebelum BK secara resmi mengeluarkan keputusan pemberhentiannya. Ketiga, belakangan ketua FPD Syarief Hasan menilai pemberhentian Azzidin menjadi momen penting bagi fraksinya untuk berbenah diri. Salah satunya adalah fungsi kontrol di FPD akan diperketat, tidak hanya selama anggota FPD bekerja di lingkungan Senayan, tapi juga ketika berada diluar lingkungan DPR. Langkah ini memang harus diambil oleh FPD sebelum rakyat menilai bahwa pimpinan FPD sama tidak mampunya dengan Azzidin dalam memahami peraturan perundang-undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar